Modernisasi Islam
Pengertian Modernisasi dan Filsafat Islam
Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan istilah original atau asli melainkan “diekspor” atau di amabil dari bahasa asing (modernization), berarti “terbaru” atau “mutakhir” menunjuk kepada prilaku waktu yang tertentu (baru). Akan tetapi, dalam pengertian yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek kawasan pemikiran dan aktifitas manusia sebagaimana kesimpulan Rusli Karim, dalam menganalisis pendapat para ahli tentang modernisaisi.
Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, isntitusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat- pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan modern. Secara teoritis di kalangan sarjana Muslim mengartikan modernisasi lebih cenderung kepada suatu cara pandang meminjam defenisi Harun Nasution, modernisasi adalah mencakup pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainnya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam perspektif posmodernis yang berasal dari tradisi filsafat, bahwa modernisasi bisa disebut sebagai semangat (elan) yang diandaikan ada pada menyemangati masyarakat intelektual dan semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progress Dalam perspektif posmodernis., semangat untuk meraih kemajuan, dan untuk humanisasi manusia yang dilandasi oleh semangat keyakinan yang sangat optimistik dari kaum modernis akan kekuatan rasio manusia. Sedangkan Fazlur Rahman, sarjana asal Pakistan mendefenisikan modernisasi dengan “usaha-usaha untuk melakukan hormonisasi antara agama dan pengaruh modernisasi dan westernisasi yang berlangsung di dunia Islam”. Mukti Ali, tepat disebut sebagai orang yang mewakili sarjana Indonesia mengartikan modernisasi sebagai “upaya menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk mensesuaikannya dengan perkembangan zaman dengan melakukan adaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia modern yang sedang berlangsung”.
Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Sedangkan menurut Ahmad Fu¡¦ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disanari ajaran Islam.
Sejarah singkat timbulnya Filsafat Islam. Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al Rasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.
Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam.
Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :
1. Dapat menolong dan menididk, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan .
Munculnya Modernisasi dalam Islam
Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam timbul terutama sebagai hasil kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya kontak itu, umat Islam abad XIX sadar bahwa mereka telah mengalami kemunduran diperbandingan dengan Barat. Sebelum periode modern, kontak sebenarnya sudah ada, terlebih antara Kerajaan Usmani yang mempunyai daerah kekuasaan di daratan Eropa dengan beberapa negara Barat. Diketika negara-negara itu mulai memasuki masa kemunduran. Sebagai akibat dari perubahan itu, Kerajaan Usmani, yang biasa menang dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat. Hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani menyelidiki rahasia kekuataan Eropa yang baru muncul itu. Menurut pemikiran, rahasianya terletak dalam kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa. Oleh karena itu usaha pembaharuan dipusatkan dalam lapangan militer kerajaan Usmani. Bantuan ahli-ahli Eropa diminta dan pada permulaan abad ke delapan belas Mesehi datanglah ke Istambul ahli-ahli seperti De Rochefort dari Perancis, Macarthy dari Irlandia, Ramsay dari Scotlandia dan Comte de Benneval dari Perancis. Yang akhir ini masuk Islam dengan memakai nama Humbaraci Pasya.
Pembaharuan yang yang diusahakan pemuka-pemuka Usmani abad kedelapan belas tidak ada artinya. Usaha dilanjutkan di abad kesembilan belas dan inilah kemudian yang membawa kepada perubahan besar di Turki. Seorang terpelajar Islam memberikan gambaran pada abad kesembilan belas, Ia mengatakan betapa terbelakangnya umat Islam ketika itu. Kontak dengan kebudayaan Barat yang lebih tinggi ini ditambah dengan cepatnya kekuatan Mesir dapat dipatahkan oleh Napoleon, membuka mata pemuka-pemuka Islam Mesir untuk mengadakan pembaharuan. Dimana usaha pembaharuan dimulai oleh Muhammad Ali Pasya (1765-1848 M) seorang perwira Turki.
Modernisasi Dalam Pandangan Islam
Tanggapan kaum muslim terhadap kemajuan yang diberikan oleh negara barat yang seriang disebut modern itu berbeda-beda. Karena tidak bisa di pungkiri lagi kemajuan Barat dalam segala bidangnya sebagai indikasi sederhana bahwa “genderang” modernisasi yang “ditabuh” di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari mata rantai dan tranmisi terhadap prestasi kemajuan yang diukir oleh dunia Barat. Baik modernisasi yang dilakukan hari ini sebagai langkah negara barat yang ingin menguasai negara dan meyebarkan ideologinya. Sebagaimana contoh dalam pendidikan barat modern dianggap sebagai sesuatu yang asing, berlebihan dan mengancam kepercayaan agama. Kaum Muslim tidak perlu jauh-jauh dalam menemukan orang-orang Eropa yang mempunyai pendapat yang memperkuat rasa takut mereka. seorang penulis Inggris yaitu William Wilson Hunter berkata: “Agama-agama di Asia yang begitu agung akan berubah bagaikan batang kayu yang kering jika berhubungan dengan kenyataan dinginnya ilmu-ilmu pengetahuan Barat”.
Kesimpulan seorang pakar mengenai reaksi Muslim di anak benua India pada Umumnya benar untuk banyak kegiatan dari dunia Islam. Reaksi Muslim terhadap pendidikan Inggris sama sekali tidak sama reaksi terhadap medernitas bermacam-macam mulai dari memusuhi secara membabi-buta sehingga mengalahkan diri sendiri sampai bekerja sama sewajarnya dengan kebijakan pendidikan Inggris. Bagi banyak orang kenyataan akan keungulan Eropa harus diakui dan dihadapi dan pelajaran-pelajaran harus diperhatikan demi kelangsungan hidup. Seperti contoh para pengusaha Muslim zaman kerajaan Utsmaniyah, Mesir dan Iran berpaling ke Barat mengembangkan program-program moderenisasi politik, ekonomi dan militer yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi Eropa. Meraka berusaha menyaingi kekuatan Barat, mengembangkan militer dan birokrasi yang modern dan piawai dan mencari ilmu pengetahuan yang menyangkut persenjataan modern. Guru-guru Eropa didatangkan, misi-misi pendidikan dikirim ke Eropa, dimana kaum Muslim belajar bahasa, ilmu pengetahuan dan politik. Biro-biro penerjemah dan penerbit didirikan untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya Barat. Generasi elite intelektual pun lahir-modern, terpelajar dan terbaratkan, keadaan inilah yang mengakibatkan perubahan tersebut, dan kelompok kecil kaum elite-lah yang melaksanakan hal ini serta merupakan pewaris utama perubahan. Hasilnya adalah sederetan reformasi militer, administrasi, pendidikan ekoniomi, hukum dan sosial, yang sangat dipengaruhi dan ilhami oleh Barat untuk “MEMODERNKAN” masyarakat Islam. Basis Islam tradisional dan legitimasi masyarakat kaum Muslim perlahan-lahan berubah sejalan dengan makin disekularkannya ideology, hukum dan lembaga-lembaga negara yang berutang kepada model-model yang didatangkan dari Barat.
Modernisasi melalui model-model Barat yang diaprikasikan oleh penguasa Muslim terutama motivasinya adalah keinginan untuk memperkuat dan memusatkan kekuasaan mereka, bukan untuk berbagi. Akibat utama modernisasi adalah timbulnya kaum elite baru dan perpecahan umat Islam, yang tampak dalam sistem-sistem pendidikan dan hukum. Koeksistensi sekolah agama tradisional dan sekolah secular modern, masing-masing dengan kurikulum, guru dan pendukungnya sendiri menghasilkan dua kelas dengan pandangan dunia yang berlainan; minoritas elite modern yang terbaratkan dan mayoritas yang lebih tradisional yang berpegang pada agama Islam. Proses ini juga mengikis dasar-dasar tradisional kekuasaan dan wewenang para pemimpin agama, karena kelas-kelas baru yang terdiri dari kaum elite modern yang terlatih menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan, pendidikan dan hukum yang selama ini selalu berada di tangan para ulama.
Di kalangan orientalis sendiri (Gibb dan Smith),menilai reaksi modernisasi yang dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “Apologetis” terhadap Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris. Kristen dengan menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi dipandang sebagai “Romantisisme” atas kegemilangan peradaban Islam yang memaksa Barat untuk belajar di dunia Islam. Akan tetapi, sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan mengusai dunia Islam sehingga menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk mengadopsi kemajuan Barat tersebut termasuk modernisasinya.
Sehingga dengan demikian jelas dari perspektif histories harus diakui bahwa istilah modernisasi ini untuk pertama kali diperkenal bukan oleh sarjana Muslim didunia Islam melainkan oleh sarjana Barat dalam konteks gejala keagamaan atau lebih tepat disebut sebagai suatu aliran yang muncul dari tubuh agama Kristen dengan munculnya gerakan “pembacaan baru” terhadap doktrin kegamaan supaya terkesan lebih sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi,10 dan sangat dimungkin kalau para modernis awal di kalangan dunia Islam sangat terinspirasi dari gejolak modernisasi keagamaan yang dihembuskan oleh Martin Luther abad 16 -11. Dari data historis inilah nampaknya di kalangan sarjana Muslim tidak sepakat kolektif atau meminjam istilah Yusril “acapkali digunakan secara tidak seimbang dan jauh dari sikap netral”, kalau modernisasi itu dikaitkan apalagi dikatakan sesaui dengan ajaran Islam karena alasan sejarah bahwa lahirnya modernisasi pada awalnya bukan berasal dari “rahim” ajaran Islam melainkan muncul dan perkembangan keagamaan dikalangan Kristen,sehingga tidak mengherankan kalau umpamanya kalangan fundamentalis, seperti Maryam Jameelah menganggap modernisasi adalah usaha “Membaratkan” dan “Mensekulerkan” dengan menuduh tokoh modernis, seperti Afghani (1838-1897), Abduh (1849-1905) hingga Thaha Husayn sebagai agen Barat. Demikian juga sebaliknya di kalangan tokoh-tokoh yang menyebut dirinya sebagai modernis menuduh kalangan yang menolak modernisasi sebagai “orang-orang yang dangkal dan superficial dan anti intelektual, bahkan menurut kesimpulan ‘Ali Syariati “kemacetan pemikiran yang diakibatkan kalangan fundamental menghasilkan Islam dekaden”, sehingga dapat dikatakan konotasi modernisasi sangat tergantung kepada siapa yang menggunakan dan dalam konteks apa digunakan modernisasi tersebut. Penetrasi dan Perkembangan Modernisasi di Dunia Islam Dapat dipastikan bahwa penetrasi dan perkembangan modernisasi di dunia Islam terjadi setelah adanya koneksasi dengan Barat dalam rentang waktu yang sangat panjang. Setidaknya menurut Harun Nasution ada empat tahapan, di antaranya Koneksasi Islam dengan Barat
1 Koneksi yaitu permulaan abad ke-VII meluasnya wilayah Islam mencakup Yordania, Palestina, Suria, Irak dan Mesir yang ketika itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Bizantium yang berpusat di Barat.
2 Koneksasi Kedua, yaitu saat berkembangnya pemikiran rasional-ilmiah di kalangan sarjana Muslim yang menghasilkan filsafat dan sains Islam zaman klasik (650-1250 M).
3 Koneksasi Ketiga, yaitu saat terjadi transformasi intelektual Islam dengan Barat yang berakibat pemikiran rasional-ilmiah Islam dibawa ke Barat.
4 Koneksasi Keempat, yaitu saat terjadinya penetrasi dan penjajahan di dunia Islam yang bukan hanya melibatkan kekuasaan politik-meliter, tetapi juga pemikiran baru tentang sains dan teknologi modern.
5 Koneksasi keempat inilah diduga kuat mengilhami lahirnya modernisasi di dunia Islam dengan dikenalnya seperangkat gagasan Barat pada permulaan abad ke-XIX yang dalam sejarah Islam disebut sebagai permulaan priode modern. Koneksasi ini juga membawa fenomena baru bagi dunia Islam seperti diperkenalkannya rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya yang semuanya menimbulkan “Goncangan Hebat” bagi para pemimpin dunia Islam, bahkan diantara sebahagiannya ada yang tertarik dengan gagasan yang “hembuskan” Barat tersebut yang secara pelan-pelan mulai mempelajarinya dan pada akhirnya berubaha untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan umat Islam.
Demikian juga asal usul modernisasi didunia Islam menurut Hani Srous sebagaimana yang dikutip Yusril menyebutkan kerangka teori kebudayaan Arnold Toynbee, yaitu tentang “Teori Zealot” yang merupakan sikap yang bertitik tolak dari keyakinan bahwa salah satu cara terbaik untuk menghadapi tantangan dari luas adalah memperkuat kekuasaan yang sudah dimiliki untuk melawan tantangan ini, dan “Teori Herodian” ialah sebaliknya cara terbaik untuk melawan tantang yang datang dari luar, ialah dengan menguasai rahasia kekuatan lawan dan menggunakannya untuk menghadapi meraka.
Masih dalam perspektif Srous bahwa sangat besar kemungkinan kalau modernisasi yang ada didunia Islam adalah proses harmonisasi dari kedua teori diatas untuk mengalahkan Barat, yaitu mengalahkannya dengan menggunakan rahasia yang digunakannya seperti rasionalisme, sains, teknologi dan sistem organisasi harus dikuasasi oleh umat Islam.
Sedangkan Robert N. Bellah, masih dalam Yusril menambahkan bahwa modernisasi sendiri sebenarnya merupakan bagian dari watak doktrin Islam itu sendiri, karena menurutnya doktrin Islam itu sendiri adalah “modern” yang berwajah inklusif menuju kearah yang progresif, makanya gagasan modernisasi dalam bidang politik, seperti demokrasi sebenarnya telah lama ada dalam Islam, bahkan dipraktekkan dalam tradisi awal Islam. Memang semangat itu terlalu modern sehingga generasi pasca sahabat tidak mampu melaksanakannya.Demikian juga Nurcholish Madjid, menilai bahwa modernisasi juga sudah lama “bertahta” dalam tradisi Islam tepatnya dalam diri sekte Mu‘tazilah yang disebut-sebut pelopor modernisasi, atau juga sangat dimungkin ide modernisasi yang muncul didunia Islam bersumber dari pemikiran cemerlang Mu‘tazilah untuk menyebut contoh Afghani dan Abduh sangat terobsesi dengan rasionalismenya Mu‘tazilah yang serius dalam menelaah filsafat Yunani. Bahkan lebih jauh lagi pemikiran kedua tokoh modernis Islam tersebut ditransformasikan keseluruh dunia Islam termasuk diIndonesia, baik melalui kontak langsung atau karya-karya tokoh tersebut yang menjalar secara cepat.
Islam dan Negara Modern
Pada pertengahan abad ke-20, sebagian besar dunia Islam telah mencapai kemerdekaan politik. Pengaruh dan daya pikat Barat yang terus-menerus merupakan bukti lebih sekularnya jalan yang dipilih oleh kebanyakan pemerintah dan kaum elite modern. Bahkan negara-negara di mana Islam mempunyai peran penting dalam gerakan-gerakan nasionalis, generasi baru yang berkuasa cenderung berorentasi lebih sekular. Jika seseorang memandang dunia Islam, maka ada tiga arah atau metode dalam hubungan antara agama dan negara yaitu: Islam, Sekular, Muslim. Seperti halnya Saudi Arabia memproklamasikan diri sebagai negara Islam. Monarki Istana Saud mendasarkan legitimasinya pada Islam. Istana Saud telah membangun hubungan yang erat dengan ulama, yang terus-menerus menikmati posisi istimewa sebagai penasihat pemerintah dan pejabat dalam sistem hukum dan pendidikan. Pemerintah Saud menggunakan Islam untuk melegitimasi politik dalam negeri maupun luar negeri.
Turki satu-satunya peninggalan kerajaan Utsmaniyah yang ada yang merupakan contoh memilih negara secular yang membatasi agama hanya untuk kehidupan pribadi. Turki, di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk (sebagai presiden, 1923-1938), melakukan proses Turkifikasi dan Westernisasi yang komprehensif, dan juga sekularisasi yang mengubah bahasa dan sejarah serta agama dan politik. Buku-buku berbahasa Inggris menggantikan yang berbahasa arab dan sejarah ditulis ulang, dengan menekan komponen-komponen Arabnya dan mengagungkan peninggalan Turkinya. Ataturk secara otokratis mengawasi sederetan pembaharu atau modern yang mencampakan sultan, menghapuskan kekhalifahan, menjatuhkan Islam, menutup pondok-pondok, melarang penggunaan jubah dan menggantikan lembaga-lembaga tradisional (hukum, pendidikan dan pemerintahan) dengan yang modern, suatu pilihan yang diilhami oleh Barat.
Secara ideologis, kecenderungan umum, yang mengikuti model-model Barat, adalah membantu berkembangnnya bentuk-bentuk secular identitas dan solidaritas nasional dan membatasi agama dalam kehidupan pribadi dan bukannya kehidupan umum. Walaupun demikian, trend secular ini mulai berubah hampir tidak terasa pada tahun 60-an dan perubahan itu menjadi lebih jelas pada tahun 70-an dan 80-an. Sebagai contoh Sudan, Mesir, Libya dan Iran yang menunjukkan bahwa penggunaan dan perwujudan Islam sangat bervariasi. Perbedaa-perbedaan dalam lingkungan sosial politik, kepemimpinan dan keadaan ekonomi menentukan bagaimana Islam diartikan dan diterapkan. Islam juga terbukti sebagai tantangan dan ancaman sumber kesetabilan dan ketidakstabilan, legtimasi dan pemberontakan, dipergunakan oleh pemerintah-pemerintah pro-Barat maupun anti-Barat. Penguasa Militer dan juga bekas militer seperti Muammar Qaddafi dari Libya, Gaafar Muhammad Nimeiri dari Sudan, Anwar Sadat dari Mesir dan Zulkifri Ali Bhutto serta jenderal Zia Ul-haq dari Pakistan menggunakan Islam untuk memperkuat legitimasi mereka, mendapatkan dukungan yang luas dan membenarkan kebijaksanaan pemerintah. Kontrasnya, Habib Bourguiba dariTunisia dan SyahIran mengikuti jalan lebih modern dan sekular.
Walaupun demikian, sebagian besar negara di dunia Islam mengambil posisi tengah. Mereka adalah negara-negara Muslim dalam arti bahwa mayoritas penduduk dan peninggalannya adalah Muslim, namun mereka mengikuti jalan pembangunan sekular. Sebagian besar melihat ke Barat untuk mencari basis bagi sistem pemerintahan konstitusional, hukum dan pendidikan modern, sementara itu mereka juga memasukan peraturan Islam ke dalam undang-undang, yang menuntut agar kepala negara adalah orang yang beragama Islam dan hukum Islam harus diakui sebagai sumber hukum (walaupun hal ini dijalankan dalam kenyataan). Pemerintahan-pemerintahan ini berusaha mengontrol agama dengan cara membangun lembaga-lembaga keagamaan dalam birokrasi negara, dalam kementerian hukum, pendidikan dan urusan keagamaan. Dengan beberapa pengecualian, pada umumnya trend, harapan dan tujuan pemerintahan-pemerintahan kaum elite modern yang berpendidikan Barat adalah untuk menciptakan negara modern dengan paradigma Barat sebagai modelnya.
Respon Dunia Islam Terhadap Sains Barat Modern
Kegagalan sains Barat modern yang bersifat sekular, antroposentris dan mendistorsi nilai-nilai religi menimbulkan sejumlah reaksi. Muncul pula kritik tajam terhadap positivisme. Lahirlah pandangan post-modernisme yang ingin mengembalikan aspek spiritual terhadap proses sains dan teknologi. Di kalangan tokoh-tokoh Islam (baca: scientist Muslim) muncul polarisasi paradigmatik. Para pemikir Muslim mengelompok menjadi dua bagian besar. Pertama: para pemikir neo-tradisionalis yang menganggap bahwa sains Barat sama sekali tidak kompatibel dengan Islam. Karena itu, islamisasi ilmu pengetahuan mutlak perlu dilakukan sampai pada tataran filosofis yang paling dasar. Kedua: para pemikir yang beranggapan bahwa sains adalah netral, universal, bersifat lintas agama dan budaya. Karena itu, islamisasi sains hanya membuang-buang waktu yang tidak perlu, bahkan islamisasi sains menimbulkan kegiatan yang diklaim sebagai “inovasi sains” yang sangat memalukan.
Selain itu, belakangan muncul pemikir Muslim yang berusaha melakukan reintegrasi ilmu. Mereka berada di luar perdebatan antara dua paradigma islamisasi sains dan netralitas sains.
Respon Pertama: Islamisasi Sains
Al-Faruqi: Mengembangkan Wawasan Islam
Berbicara tentang paradigma islamisasi sains rasanya tidak lengkap jika tidak menyebut nama Ismail R. Al-Faruqy. Tokoh ini lahir di Jaffa, Palestina, pada tahun 1921, kemudian bermukim di Amerika dan mendirikan IIIT (International Islamic Institute of Thought). Melalui penerbitan, seminar dan diskusi, IIIT melakukan berbagai upaya untuk membuka wawasan baru bagi perkembangan pemikiran dalam perspektif Islam. Setidaknya sejak tahun 1977 di berbagai negeri Muslim, bahkan juga di negara Barat, berkembang apa yang disebut islamisasi ilmu pengetahuan.
Bagaimanakah islamisasi ilmu pengetahuan dalam perspektif Al-Faruqi? Ia adalah seorang generalis. Selama hidupnya, ia pernah menulis lebih dari seratus artikel ilmiah dan puluhan buku yang membahas masalah etika, seni, ekonomi, metafisika, politik, sosiologi dan lain sebagainya. Dalam bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge, Al-Faruqi menyesali ketertinggalan kaum muslimin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di bidang pendidikan dan keilmuan. Kaum muslimin tidak memiliki wawasan keilmuan. Materi-materi dan metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam merupakan jiplakan dari materi dan metodologi yang diajarkan di Barat, dan ini akan berpengaruh bagi mendeislamisasi siswa. Materi dan metode-metode tersebut membuat para lulusan universitas tidak mengetahui tentang Islam dan cenderung menjadi sekular. Al-Faruqi menyesali bahwa kaum muslimin telah berbuat kesalahan dengan menyerahkan anak-anak mereka untuk diajari oleh tokoh-tokoh misionaris.
Karena itu, dengan penuh semangat Al-Faruqi menegaskan perlunya wawasan Islam (islamic vision) dengan menguasai kebudayaan Islam, melakukan islamisasi ilmu pengetahuan serta melakukan langkah-langkah praktis untuk meraih kembali kebesaran Islam. Mengenai islamisasi ilmu, ia menginginkan adanya world view Islam bagi sains. Ia menegaskan:
…Para akademikus Muslim harus menguasai semua disiplin modern, memahami disiplin-disiplin tersebut dengan sempurna dan merasakan itu sebagai sebuah perintah yang tak bisa ditawar bagi mereka semua, untuk mempelajari seluruhnya. Itulah prasyarat yang pertama. Setelah itu, mereka harus mengintegrasikan pengetahuan baru tersebut ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai world view Islam dan menetapkan nilai-nilainya
Pada bagian lain Al-Faruqi menegaskan:
…Kita menganggap setiap aspek sains harus berorientasi pada nilai-nilai dan seluruh sains harus merupakan sebuah aktivitas kultural, sebuah aktivitas yang dibentuk oleh pandangan duniawi sang pelaku.
Demikianlah, secara paradigmatik Al-Faruqi sangat concern pada gerakan islamisasi ilmu pengetahuan. Ia menganggap bahwa sains yang ada sekarang tidak kompatibel, atau bahkan bertentangan dengan wawasan Islam. Ia pun menyesali bahwa dunia Islam sampai tidak memiliki pusat sebagai produsen pemikiran Islam.
Akidah Islam baginya harus menjadi standar penilaian, selain budaya atau apa yang sering disebut sebagai tsaqafah Islam. Menurut Penerbit Mizan dalam pengantar buku Al-Faruqi, Atlas Budaya: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, puncak karya Al-Faruqi ialah sebuah buku berjudul, Tauhid: Its Implication for Thouhgt and Life. Karya terakhir ini seakan-akan merupakan suatu sintesis yang sangat impresif, merangkum tulisan-tulisan sebelumnya, yang bermuara pada keharusan islamisasi seluruh aspek kehidupan. Dari sini semakin jelas, ia menginginkan penerapan prinsip-prinsp tauhid dalam islamisasi sains, atau ingin menjadikan sains yang berwawasan Islam.
Mehdi Golsani: Sains Sakral
Berbasis pengetahuan mendalam dalam ilmu-ilmu alam, Guru Besar Fisika Sharif Uiniversity of Technology, Teheran, Iran ini memperkenalkan adanya sains sakral yang berbeda dengan sains sekular, seperti dalam pandangan positivisme. Islamisasi sains bagi doktor fisika tamatan University of California ini ialah mengakui adanya proses penciptaan; mengakui adanya realitas di luar inderawi; dan mengakui adanya kebenaran yang berasal dari wahyu. Karena itu, selain melakukan penelitian fisik yang bersifat inderawi, ia mengakui adanya realitas lain yang bersifat metafisika. Dengan kata lain, sains sakral melakukan internalisasi nilai religi terhadap realitas inderawi. Ketika menghadapi realitas yang bersifat inderawi, maka muncul kesadaran ketuhanan. Guru besar kelahiran Isfahan, 1939, ini membandingkan sains sakral dengan sains sekular.
Perbedaan sains sakral dengan sains sekular, menurut Mehdi Golshani, dalam salah satu tulisannya tentang Science and The Sacred (2003) dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama: sains sekular menganggap alam fisik sebagai satu-satunya yang ada dan tidak menyisakan tempat bagi Tuhan dalam tatanan alamiah. Adapun sains sakral berpendirian sebaliknya, yaitu menganggap alam fisik sebagai diciptakan dan dipelihara oleh Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Oleh karena itu, sains yang terakhir ini berpusat pada Tuhan. Kedua: sains sekular senang dengan spesialisasi yang berbuntut pada fragmentasi sains. Di sini, bidang-bidang sains dipilah-pilah dan diceraikan dari Sang Mahakudus. Akan tetapi, sains sakral mencari kesatuan yang mendasari tatanan penciptaan. Ini berarti bahwa sains sakral merengkuh pandangan holistik tentang alam semesta dan menerapkan pendekatan holistik dalam memahaminya. Ketiga: sains sekular mengurung diri dalam wilayah inderawi. Oleh karena itu, realitas-realitas spiritual dianggap tidak nyata (unreal) ataupun bisa direduksi pada benda fisik. Dalam sains sekular tidak terdapat ruang bagi realitas-realitas adi-inderawi. Adapun sains sakral tidak mengurung pengetahuan realitas pada apa yang bisa didapat melalui eksperimentasi dan penalaran teoretis belaka serta tidak menganggap kajian saintifik alam sebagai satu-satunya cara. Ia juga mengakomodasi wahyu dan intuisi. Keempat: sains sekular mengabaikan ataupun mengosongkan alam dari segala tujuan dan muatan spiritual sehingga ia tidak meninggalkan makna bagi hidup dan segenap penciptaan. Adapun paradigma sains sakral berpandangan bahwa alam ini memiliki makna yang merentang melampaui kita dan bersambung pada tujuan eksistensi, yaitu Sang Pencipta. Kelima: sains sekular mengembangkan kenetralan pada nilai, sedangkan dalam sains sakral mengandung integrasi antara pengetahuan dan serangkaian nilai.
Pandangan ini juga merupakan upaya bahwa mengetahui alam dengan norma-norma sains sakral adalah upaya untuk memperoleh pengetahuan yang permanen; yang memberikan pencerahan ruhani, berakar pada wahyu, berpegang pada pandangan holistik terhadap alam, mengakui struktur hierarkis realitas dan perhatiannya yang luas pada perikemanusiaan. Inilah jenis pengetahuan yang tanpa itu manusia tidak bisa bertahan hidup di bumi. Hanya dengan bantuannyalah manusia dapat hidup serasi dengan dirinya dan dengan alam, karena ia hidup serasi dengan realitas yang menjadi sumber dirinya dalam tatanan alam.
Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan istilah original atau asli melainkan “diekspor” atau di amabil dari bahasa asing (modernization), berarti “terbaru” atau “mutakhir” menunjuk kepada prilaku waktu yang tertentu (baru). Akan tetapi, dalam pengertian yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek kawasan pemikiran dan aktifitas manusia sebagaimana kesimpulan Rusli Karim, dalam menganalisis pendapat para ahli tentang modernisaisi.
Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, isntitusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat- pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan modern. Secara teoritis di kalangan sarjana Muslim mengartikan modernisasi lebih cenderung kepada suatu cara pandang meminjam defenisi Harun Nasution, modernisasi adalah mencakup pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainnya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam perspektif posmodernis yang berasal dari tradisi filsafat, bahwa modernisasi bisa disebut sebagai semangat (elan) yang diandaikan ada pada menyemangati masyarakat intelektual dan semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progress Dalam perspektif posmodernis., semangat untuk meraih kemajuan, dan untuk humanisasi manusia yang dilandasi oleh semangat keyakinan yang sangat optimistik dari kaum modernis akan kekuatan rasio manusia. Sedangkan Fazlur Rahman, sarjana asal Pakistan mendefenisikan modernisasi dengan “usaha-usaha untuk melakukan hormonisasi antara agama dan pengaruh modernisasi dan westernisasi yang berlangsung di dunia Islam”. Mukti Ali, tepat disebut sebagai orang yang mewakili sarjana Indonesia mengartikan modernisasi sebagai “upaya menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk mensesuaikannya dengan perkembangan zaman dengan melakukan adaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia modern yang sedang berlangsung”.
Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Sedangkan menurut Ahmad Fu¡¦ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disanari ajaran Islam.
Sejarah singkat timbulnya Filsafat Islam. Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al Rasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.
Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam.
Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :
1. Dapat menolong dan menididk, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan .
Munculnya Modernisasi dalam Islam
Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam timbul terutama sebagai hasil kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya kontak itu, umat Islam abad XIX sadar bahwa mereka telah mengalami kemunduran diperbandingan dengan Barat. Sebelum periode modern, kontak sebenarnya sudah ada, terlebih antara Kerajaan Usmani yang mempunyai daerah kekuasaan di daratan Eropa dengan beberapa negara Barat. Diketika negara-negara itu mulai memasuki masa kemunduran. Sebagai akibat dari perubahan itu, Kerajaan Usmani, yang biasa menang dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat. Hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani menyelidiki rahasia kekuataan Eropa yang baru muncul itu. Menurut pemikiran, rahasianya terletak dalam kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa. Oleh karena itu usaha pembaharuan dipusatkan dalam lapangan militer kerajaan Usmani. Bantuan ahli-ahli Eropa diminta dan pada permulaan abad ke delapan belas Mesehi datanglah ke Istambul ahli-ahli seperti De Rochefort dari Perancis, Macarthy dari Irlandia, Ramsay dari Scotlandia dan Comte de Benneval dari Perancis. Yang akhir ini masuk Islam dengan memakai nama Humbaraci Pasya.
Pembaharuan yang yang diusahakan pemuka-pemuka Usmani abad kedelapan belas tidak ada artinya. Usaha dilanjutkan di abad kesembilan belas dan inilah kemudian yang membawa kepada perubahan besar di Turki. Seorang terpelajar Islam memberikan gambaran pada abad kesembilan belas, Ia mengatakan betapa terbelakangnya umat Islam ketika itu. Kontak dengan kebudayaan Barat yang lebih tinggi ini ditambah dengan cepatnya kekuatan Mesir dapat dipatahkan oleh Napoleon, membuka mata pemuka-pemuka Islam Mesir untuk mengadakan pembaharuan. Dimana usaha pembaharuan dimulai oleh Muhammad Ali Pasya (1765-1848 M) seorang perwira Turki.
Modernisasi Dalam Pandangan Islam
Tanggapan kaum muslim terhadap kemajuan yang diberikan oleh negara barat yang seriang disebut modern itu berbeda-beda. Karena tidak bisa di pungkiri lagi kemajuan Barat dalam segala bidangnya sebagai indikasi sederhana bahwa “genderang” modernisasi yang “ditabuh” di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari mata rantai dan tranmisi terhadap prestasi kemajuan yang diukir oleh dunia Barat. Baik modernisasi yang dilakukan hari ini sebagai langkah negara barat yang ingin menguasai negara dan meyebarkan ideologinya. Sebagaimana contoh dalam pendidikan barat modern dianggap sebagai sesuatu yang asing, berlebihan dan mengancam kepercayaan agama. Kaum Muslim tidak perlu jauh-jauh dalam menemukan orang-orang Eropa yang mempunyai pendapat yang memperkuat rasa takut mereka. seorang penulis Inggris yaitu William Wilson Hunter berkata: “Agama-agama di Asia yang begitu agung akan berubah bagaikan batang kayu yang kering jika berhubungan dengan kenyataan dinginnya ilmu-ilmu pengetahuan Barat”.
Kesimpulan seorang pakar mengenai reaksi Muslim di anak benua India pada Umumnya benar untuk banyak kegiatan dari dunia Islam. Reaksi Muslim terhadap pendidikan Inggris sama sekali tidak sama reaksi terhadap medernitas bermacam-macam mulai dari memusuhi secara membabi-buta sehingga mengalahkan diri sendiri sampai bekerja sama sewajarnya dengan kebijakan pendidikan Inggris. Bagi banyak orang kenyataan akan keungulan Eropa harus diakui dan dihadapi dan pelajaran-pelajaran harus diperhatikan demi kelangsungan hidup. Seperti contoh para pengusaha Muslim zaman kerajaan Utsmaniyah, Mesir dan Iran berpaling ke Barat mengembangkan program-program moderenisasi politik, ekonomi dan militer yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi Eropa. Meraka berusaha menyaingi kekuatan Barat, mengembangkan militer dan birokrasi yang modern dan piawai dan mencari ilmu pengetahuan yang menyangkut persenjataan modern. Guru-guru Eropa didatangkan, misi-misi pendidikan dikirim ke Eropa, dimana kaum Muslim belajar bahasa, ilmu pengetahuan dan politik. Biro-biro penerjemah dan penerbit didirikan untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya Barat. Generasi elite intelektual pun lahir-modern, terpelajar dan terbaratkan, keadaan inilah yang mengakibatkan perubahan tersebut, dan kelompok kecil kaum elite-lah yang melaksanakan hal ini serta merupakan pewaris utama perubahan. Hasilnya adalah sederetan reformasi militer, administrasi, pendidikan ekoniomi, hukum dan sosial, yang sangat dipengaruhi dan ilhami oleh Barat untuk “MEMODERNKAN” masyarakat Islam. Basis Islam tradisional dan legitimasi masyarakat kaum Muslim perlahan-lahan berubah sejalan dengan makin disekularkannya ideology, hukum dan lembaga-lembaga negara yang berutang kepada model-model yang didatangkan dari Barat.
Modernisasi melalui model-model Barat yang diaprikasikan oleh penguasa Muslim terutama motivasinya adalah keinginan untuk memperkuat dan memusatkan kekuasaan mereka, bukan untuk berbagi. Akibat utama modernisasi adalah timbulnya kaum elite baru dan perpecahan umat Islam, yang tampak dalam sistem-sistem pendidikan dan hukum. Koeksistensi sekolah agama tradisional dan sekolah secular modern, masing-masing dengan kurikulum, guru dan pendukungnya sendiri menghasilkan dua kelas dengan pandangan dunia yang berlainan; minoritas elite modern yang terbaratkan dan mayoritas yang lebih tradisional yang berpegang pada agama Islam. Proses ini juga mengikis dasar-dasar tradisional kekuasaan dan wewenang para pemimpin agama, karena kelas-kelas baru yang terdiri dari kaum elite modern yang terlatih menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan, pendidikan dan hukum yang selama ini selalu berada di tangan para ulama.
Di kalangan orientalis sendiri (Gibb dan Smith),menilai reaksi modernisasi yang dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “Apologetis” terhadap Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris. Kristen dengan menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi dipandang sebagai “Romantisisme” atas kegemilangan peradaban Islam yang memaksa Barat untuk belajar di dunia Islam. Akan tetapi, sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan mengusai dunia Islam sehingga menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk mengadopsi kemajuan Barat tersebut termasuk modernisasinya.
Sehingga dengan demikian jelas dari perspektif histories harus diakui bahwa istilah modernisasi ini untuk pertama kali diperkenal bukan oleh sarjana Muslim didunia Islam melainkan oleh sarjana Barat dalam konteks gejala keagamaan atau lebih tepat disebut sebagai suatu aliran yang muncul dari tubuh agama Kristen dengan munculnya gerakan “pembacaan baru” terhadap doktrin kegamaan supaya terkesan lebih sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi,10 dan sangat dimungkin kalau para modernis awal di kalangan dunia Islam sangat terinspirasi dari gejolak modernisasi keagamaan yang dihembuskan oleh Martin Luther abad 16 -11. Dari data historis inilah nampaknya di kalangan sarjana Muslim tidak sepakat kolektif atau meminjam istilah Yusril “acapkali digunakan secara tidak seimbang dan jauh dari sikap netral”, kalau modernisasi itu dikaitkan apalagi dikatakan sesaui dengan ajaran Islam karena alasan sejarah bahwa lahirnya modernisasi pada awalnya bukan berasal dari “rahim” ajaran Islam melainkan muncul dan perkembangan keagamaan dikalangan Kristen,sehingga tidak mengherankan kalau umpamanya kalangan fundamentalis, seperti Maryam Jameelah menganggap modernisasi adalah usaha “Membaratkan” dan “Mensekulerkan” dengan menuduh tokoh modernis, seperti Afghani (1838-1897), Abduh (1849-1905) hingga Thaha Husayn sebagai agen Barat. Demikian juga sebaliknya di kalangan tokoh-tokoh yang menyebut dirinya sebagai modernis menuduh kalangan yang menolak modernisasi sebagai “orang-orang yang dangkal dan superficial dan anti intelektual, bahkan menurut kesimpulan ‘Ali Syariati “kemacetan pemikiran yang diakibatkan kalangan fundamental menghasilkan Islam dekaden”, sehingga dapat dikatakan konotasi modernisasi sangat tergantung kepada siapa yang menggunakan dan dalam konteks apa digunakan modernisasi tersebut. Penetrasi dan Perkembangan Modernisasi di Dunia Islam Dapat dipastikan bahwa penetrasi dan perkembangan modernisasi di dunia Islam terjadi setelah adanya koneksasi dengan Barat dalam rentang waktu yang sangat panjang. Setidaknya menurut Harun Nasution ada empat tahapan, di antaranya Koneksasi Islam dengan Barat
1 Koneksi yaitu permulaan abad ke-VII meluasnya wilayah Islam mencakup Yordania, Palestina, Suria, Irak dan Mesir yang ketika itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Bizantium yang berpusat di Barat.
2 Koneksasi Kedua, yaitu saat berkembangnya pemikiran rasional-ilmiah di kalangan sarjana Muslim yang menghasilkan filsafat dan sains Islam zaman klasik (650-1250 M).
3 Koneksasi Ketiga, yaitu saat terjadi transformasi intelektual Islam dengan Barat yang berakibat pemikiran rasional-ilmiah Islam dibawa ke Barat.
4 Koneksasi Keempat, yaitu saat terjadinya penetrasi dan penjajahan di dunia Islam yang bukan hanya melibatkan kekuasaan politik-meliter, tetapi juga pemikiran baru tentang sains dan teknologi modern.
5 Koneksasi keempat inilah diduga kuat mengilhami lahirnya modernisasi di dunia Islam dengan dikenalnya seperangkat gagasan Barat pada permulaan abad ke-XIX yang dalam sejarah Islam disebut sebagai permulaan priode modern. Koneksasi ini juga membawa fenomena baru bagi dunia Islam seperti diperkenalkannya rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya yang semuanya menimbulkan “Goncangan Hebat” bagi para pemimpin dunia Islam, bahkan diantara sebahagiannya ada yang tertarik dengan gagasan yang “hembuskan” Barat tersebut yang secara pelan-pelan mulai mempelajarinya dan pada akhirnya berubaha untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan umat Islam.
Demikian juga asal usul modernisasi didunia Islam menurut Hani Srous sebagaimana yang dikutip Yusril menyebutkan kerangka teori kebudayaan Arnold Toynbee, yaitu tentang “Teori Zealot” yang merupakan sikap yang bertitik tolak dari keyakinan bahwa salah satu cara terbaik untuk menghadapi tantangan dari luas adalah memperkuat kekuasaan yang sudah dimiliki untuk melawan tantangan ini, dan “Teori Herodian” ialah sebaliknya cara terbaik untuk melawan tantang yang datang dari luar, ialah dengan menguasai rahasia kekuatan lawan dan menggunakannya untuk menghadapi meraka.
Masih dalam perspektif Srous bahwa sangat besar kemungkinan kalau modernisasi yang ada didunia Islam adalah proses harmonisasi dari kedua teori diatas untuk mengalahkan Barat, yaitu mengalahkannya dengan menggunakan rahasia yang digunakannya seperti rasionalisme, sains, teknologi dan sistem organisasi harus dikuasasi oleh umat Islam.
Sedangkan Robert N. Bellah, masih dalam Yusril menambahkan bahwa modernisasi sendiri sebenarnya merupakan bagian dari watak doktrin Islam itu sendiri, karena menurutnya doktrin Islam itu sendiri adalah “modern” yang berwajah inklusif menuju kearah yang progresif, makanya gagasan modernisasi dalam bidang politik, seperti demokrasi sebenarnya telah lama ada dalam Islam, bahkan dipraktekkan dalam tradisi awal Islam. Memang semangat itu terlalu modern sehingga generasi pasca sahabat tidak mampu melaksanakannya.Demikian juga Nurcholish Madjid, menilai bahwa modernisasi juga sudah lama “bertahta” dalam tradisi Islam tepatnya dalam diri sekte Mu‘tazilah yang disebut-sebut pelopor modernisasi, atau juga sangat dimungkin ide modernisasi yang muncul didunia Islam bersumber dari pemikiran cemerlang Mu‘tazilah untuk menyebut contoh Afghani dan Abduh sangat terobsesi dengan rasionalismenya Mu‘tazilah yang serius dalam menelaah filsafat Yunani. Bahkan lebih jauh lagi pemikiran kedua tokoh modernis Islam tersebut ditransformasikan keseluruh dunia Islam termasuk diIndonesia, baik melalui kontak langsung atau karya-karya tokoh tersebut yang menjalar secara cepat.
Islam dan Negara Modern
Pada pertengahan abad ke-20, sebagian besar dunia Islam telah mencapai kemerdekaan politik. Pengaruh dan daya pikat Barat yang terus-menerus merupakan bukti lebih sekularnya jalan yang dipilih oleh kebanyakan pemerintah dan kaum elite modern. Bahkan negara-negara di mana Islam mempunyai peran penting dalam gerakan-gerakan nasionalis, generasi baru yang berkuasa cenderung berorentasi lebih sekular. Jika seseorang memandang dunia Islam, maka ada tiga arah atau metode dalam hubungan antara agama dan negara yaitu: Islam, Sekular, Muslim. Seperti halnya Saudi Arabia memproklamasikan diri sebagai negara Islam. Monarki Istana Saud mendasarkan legitimasinya pada Islam. Istana Saud telah membangun hubungan yang erat dengan ulama, yang terus-menerus menikmati posisi istimewa sebagai penasihat pemerintah dan pejabat dalam sistem hukum dan pendidikan. Pemerintah Saud menggunakan Islam untuk melegitimasi politik dalam negeri maupun luar negeri.
Turki satu-satunya peninggalan kerajaan Utsmaniyah yang ada yang merupakan contoh memilih negara secular yang membatasi agama hanya untuk kehidupan pribadi. Turki, di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk (sebagai presiden, 1923-1938), melakukan proses Turkifikasi dan Westernisasi yang komprehensif, dan juga sekularisasi yang mengubah bahasa dan sejarah serta agama dan politik. Buku-buku berbahasa Inggris menggantikan yang berbahasa arab dan sejarah ditulis ulang, dengan menekan komponen-komponen Arabnya dan mengagungkan peninggalan Turkinya. Ataturk secara otokratis mengawasi sederetan pembaharu atau modern yang mencampakan sultan, menghapuskan kekhalifahan, menjatuhkan Islam, menutup pondok-pondok, melarang penggunaan jubah dan menggantikan lembaga-lembaga tradisional (hukum, pendidikan dan pemerintahan) dengan yang modern, suatu pilihan yang diilhami oleh Barat.
Secara ideologis, kecenderungan umum, yang mengikuti model-model Barat, adalah membantu berkembangnnya bentuk-bentuk secular identitas dan solidaritas nasional dan membatasi agama dalam kehidupan pribadi dan bukannya kehidupan umum. Walaupun demikian, trend secular ini mulai berubah hampir tidak terasa pada tahun 60-an dan perubahan itu menjadi lebih jelas pada tahun 70-an dan 80-an. Sebagai contoh Sudan, Mesir, Libya dan Iran yang menunjukkan bahwa penggunaan dan perwujudan Islam sangat bervariasi. Perbedaa-perbedaan dalam lingkungan sosial politik, kepemimpinan dan keadaan ekonomi menentukan bagaimana Islam diartikan dan diterapkan. Islam juga terbukti sebagai tantangan dan ancaman sumber kesetabilan dan ketidakstabilan, legtimasi dan pemberontakan, dipergunakan oleh pemerintah-pemerintah pro-Barat maupun anti-Barat. Penguasa Militer dan juga bekas militer seperti Muammar Qaddafi dari Libya, Gaafar Muhammad Nimeiri dari Sudan, Anwar Sadat dari Mesir dan Zulkifri Ali Bhutto serta jenderal Zia Ul-haq dari Pakistan menggunakan Islam untuk memperkuat legitimasi mereka, mendapatkan dukungan yang luas dan membenarkan kebijaksanaan pemerintah. Kontrasnya, Habib Bourguiba dariTunisia dan SyahIran mengikuti jalan lebih modern dan sekular.
Walaupun demikian, sebagian besar negara di dunia Islam mengambil posisi tengah. Mereka adalah negara-negara Muslim dalam arti bahwa mayoritas penduduk dan peninggalannya adalah Muslim, namun mereka mengikuti jalan pembangunan sekular. Sebagian besar melihat ke Barat untuk mencari basis bagi sistem pemerintahan konstitusional, hukum dan pendidikan modern, sementara itu mereka juga memasukan peraturan Islam ke dalam undang-undang, yang menuntut agar kepala negara adalah orang yang beragama Islam dan hukum Islam harus diakui sebagai sumber hukum (walaupun hal ini dijalankan dalam kenyataan). Pemerintahan-pemerintahan ini berusaha mengontrol agama dengan cara membangun lembaga-lembaga keagamaan dalam birokrasi negara, dalam kementerian hukum, pendidikan dan urusan keagamaan. Dengan beberapa pengecualian, pada umumnya trend, harapan dan tujuan pemerintahan-pemerintahan kaum elite modern yang berpendidikan Barat adalah untuk menciptakan negara modern dengan paradigma Barat sebagai modelnya.
Respon Dunia Islam Terhadap Sains Barat Modern
Kegagalan sains Barat modern yang bersifat sekular, antroposentris dan mendistorsi nilai-nilai religi menimbulkan sejumlah reaksi. Muncul pula kritik tajam terhadap positivisme. Lahirlah pandangan post-modernisme yang ingin mengembalikan aspek spiritual terhadap proses sains dan teknologi. Di kalangan tokoh-tokoh Islam (baca: scientist Muslim) muncul polarisasi paradigmatik. Para pemikir Muslim mengelompok menjadi dua bagian besar. Pertama: para pemikir neo-tradisionalis yang menganggap bahwa sains Barat sama sekali tidak kompatibel dengan Islam. Karena itu, islamisasi ilmu pengetahuan mutlak perlu dilakukan sampai pada tataran filosofis yang paling dasar. Kedua: para pemikir yang beranggapan bahwa sains adalah netral, universal, bersifat lintas agama dan budaya. Karena itu, islamisasi sains hanya membuang-buang waktu yang tidak perlu, bahkan islamisasi sains menimbulkan kegiatan yang diklaim sebagai “inovasi sains” yang sangat memalukan.
Selain itu, belakangan muncul pemikir Muslim yang berusaha melakukan reintegrasi ilmu. Mereka berada di luar perdebatan antara dua paradigma islamisasi sains dan netralitas sains.
Respon Pertama: Islamisasi Sains
Al-Faruqi: Mengembangkan Wawasan Islam
Berbicara tentang paradigma islamisasi sains rasanya tidak lengkap jika tidak menyebut nama Ismail R. Al-Faruqy. Tokoh ini lahir di Jaffa, Palestina, pada tahun 1921, kemudian bermukim di Amerika dan mendirikan IIIT (International Islamic Institute of Thought). Melalui penerbitan, seminar dan diskusi, IIIT melakukan berbagai upaya untuk membuka wawasan baru bagi perkembangan pemikiran dalam perspektif Islam. Setidaknya sejak tahun 1977 di berbagai negeri Muslim, bahkan juga di negara Barat, berkembang apa yang disebut islamisasi ilmu pengetahuan.
Bagaimanakah islamisasi ilmu pengetahuan dalam perspektif Al-Faruqi? Ia adalah seorang generalis. Selama hidupnya, ia pernah menulis lebih dari seratus artikel ilmiah dan puluhan buku yang membahas masalah etika, seni, ekonomi, metafisika, politik, sosiologi dan lain sebagainya. Dalam bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge, Al-Faruqi menyesali ketertinggalan kaum muslimin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di bidang pendidikan dan keilmuan. Kaum muslimin tidak memiliki wawasan keilmuan. Materi-materi dan metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam merupakan jiplakan dari materi dan metodologi yang diajarkan di Barat, dan ini akan berpengaruh bagi mendeislamisasi siswa. Materi dan metode-metode tersebut membuat para lulusan universitas tidak mengetahui tentang Islam dan cenderung menjadi sekular. Al-Faruqi menyesali bahwa kaum muslimin telah berbuat kesalahan dengan menyerahkan anak-anak mereka untuk diajari oleh tokoh-tokoh misionaris.
Karena itu, dengan penuh semangat Al-Faruqi menegaskan perlunya wawasan Islam (islamic vision) dengan menguasai kebudayaan Islam, melakukan islamisasi ilmu pengetahuan serta melakukan langkah-langkah praktis untuk meraih kembali kebesaran Islam. Mengenai islamisasi ilmu, ia menginginkan adanya world view Islam bagi sains. Ia menegaskan:
…Para akademikus Muslim harus menguasai semua disiplin modern, memahami disiplin-disiplin tersebut dengan sempurna dan merasakan itu sebagai sebuah perintah yang tak bisa ditawar bagi mereka semua, untuk mempelajari seluruhnya. Itulah prasyarat yang pertama. Setelah itu, mereka harus mengintegrasikan pengetahuan baru tersebut ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai world view Islam dan menetapkan nilai-nilainya
Pada bagian lain Al-Faruqi menegaskan:
…Kita menganggap setiap aspek sains harus berorientasi pada nilai-nilai dan seluruh sains harus merupakan sebuah aktivitas kultural, sebuah aktivitas yang dibentuk oleh pandangan duniawi sang pelaku.
Demikianlah, secara paradigmatik Al-Faruqi sangat concern pada gerakan islamisasi ilmu pengetahuan. Ia menganggap bahwa sains yang ada sekarang tidak kompatibel, atau bahkan bertentangan dengan wawasan Islam. Ia pun menyesali bahwa dunia Islam sampai tidak memiliki pusat sebagai produsen pemikiran Islam.
Akidah Islam baginya harus menjadi standar penilaian, selain budaya atau apa yang sering disebut sebagai tsaqafah Islam. Menurut Penerbit Mizan dalam pengantar buku Al-Faruqi, Atlas Budaya: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, puncak karya Al-Faruqi ialah sebuah buku berjudul, Tauhid: Its Implication for Thouhgt and Life. Karya terakhir ini seakan-akan merupakan suatu sintesis yang sangat impresif, merangkum tulisan-tulisan sebelumnya, yang bermuara pada keharusan islamisasi seluruh aspek kehidupan. Dari sini semakin jelas, ia menginginkan penerapan prinsip-prinsp tauhid dalam islamisasi sains, atau ingin menjadikan sains yang berwawasan Islam.
Mehdi Golsani: Sains Sakral
Berbasis pengetahuan mendalam dalam ilmu-ilmu alam, Guru Besar Fisika Sharif Uiniversity of Technology, Teheran, Iran ini memperkenalkan adanya sains sakral yang berbeda dengan sains sekular, seperti dalam pandangan positivisme. Islamisasi sains bagi doktor fisika tamatan University of California ini ialah mengakui adanya proses penciptaan; mengakui adanya realitas di luar inderawi; dan mengakui adanya kebenaran yang berasal dari wahyu. Karena itu, selain melakukan penelitian fisik yang bersifat inderawi, ia mengakui adanya realitas lain yang bersifat metafisika. Dengan kata lain, sains sakral melakukan internalisasi nilai religi terhadap realitas inderawi. Ketika menghadapi realitas yang bersifat inderawi, maka muncul kesadaran ketuhanan. Guru besar kelahiran Isfahan, 1939, ini membandingkan sains sakral dengan sains sekular.
Perbedaan sains sakral dengan sains sekular, menurut Mehdi Golshani, dalam salah satu tulisannya tentang Science and The Sacred (2003) dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama: sains sekular menganggap alam fisik sebagai satu-satunya yang ada dan tidak menyisakan tempat bagi Tuhan dalam tatanan alamiah. Adapun sains sakral berpendirian sebaliknya, yaitu menganggap alam fisik sebagai diciptakan dan dipelihara oleh Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Oleh karena itu, sains yang terakhir ini berpusat pada Tuhan. Kedua: sains sekular senang dengan spesialisasi yang berbuntut pada fragmentasi sains. Di sini, bidang-bidang sains dipilah-pilah dan diceraikan dari Sang Mahakudus. Akan tetapi, sains sakral mencari kesatuan yang mendasari tatanan penciptaan. Ini berarti bahwa sains sakral merengkuh pandangan holistik tentang alam semesta dan menerapkan pendekatan holistik dalam memahaminya. Ketiga: sains sekular mengurung diri dalam wilayah inderawi. Oleh karena itu, realitas-realitas spiritual dianggap tidak nyata (unreal) ataupun bisa direduksi pada benda fisik. Dalam sains sekular tidak terdapat ruang bagi realitas-realitas adi-inderawi. Adapun sains sakral tidak mengurung pengetahuan realitas pada apa yang bisa didapat melalui eksperimentasi dan penalaran teoretis belaka serta tidak menganggap kajian saintifik alam sebagai satu-satunya cara. Ia juga mengakomodasi wahyu dan intuisi. Keempat: sains sekular mengabaikan ataupun mengosongkan alam dari segala tujuan dan muatan spiritual sehingga ia tidak meninggalkan makna bagi hidup dan segenap penciptaan. Adapun paradigma sains sakral berpandangan bahwa alam ini memiliki makna yang merentang melampaui kita dan bersambung pada tujuan eksistensi, yaitu Sang Pencipta. Kelima: sains sekular mengembangkan kenetralan pada nilai, sedangkan dalam sains sakral mengandung integrasi antara pengetahuan dan serangkaian nilai.
Pandangan ini juga merupakan upaya bahwa mengetahui alam dengan norma-norma sains sakral adalah upaya untuk memperoleh pengetahuan yang permanen; yang memberikan pencerahan ruhani, berakar pada wahyu, berpegang pada pandangan holistik terhadap alam, mengakui struktur hierarkis realitas dan perhatiannya yang luas pada perikemanusiaan. Inilah jenis pengetahuan yang tanpa itu manusia tidak bisa bertahan hidup di bumi. Hanya dengan bantuannyalah manusia dapat hidup serasi dengan dirinya dan dengan alam, karena ia hidup serasi dengan realitas yang menjadi sumber dirinya dalam tatanan alam.