Ali bin Abi Thalib
A. Sekilas Tentang Kehidupan Ali bin Abi Thalib
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Tholib bin Abdil Mutholib, putra dari paman Rasulullah dan suami dari beliau Fatimah. Fatimah adalah satu-satunya putri Rasul yang mempunyai keturunan.
Sepanjang hayatnya, Ali bin Abi Thalib tidak pernah sujud dihadapan berhala. Sujud pertamanya dan sujud selamanya hanya untuk Allah SWT. Karena itulah ia dijuluki “karramallahuwajhah- Allah memuliakan wajahnya”. Ia telah masuk islam di usia yang sangat dini, sepuluh tahun. Dialah anak-anak pertama dalam islam. Bahkan sebagian mengatakan bahwa dialah muslim pertama setelah Rasulullah SAW.
Ketika nabi menerima wahyu yang pertama, menurut Hasan Ibrahim Hasan Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ia menemani nabi dalam perjuangan menegakkan islam, baik di Makkah maupun di Madinah, dan ia diambil menantu oleh Nabi SAW dengan menikahkannya dengan Fatimah, salah seorang putri Rasulullah SAW.
Setelah keislamannya, ia mencari ilmu pengetahuan dan akhlak yang mulia dari Baginda Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil ia dididik di Madrasah Nubuwah di bawah bimbingan pengajar dan pembimbing paling agung Rasulullah Muhammad SAW.
Ujian pertama yang dihadapi oleh Ali bin Abi Tholib di jalan islam adalah di malam hijrah ketika ia diminta untuk menggantikan Rasulullah SAW. Ia harus tidur diatas pembaringan Rasulullah SAW dan mangenakan jubah beliau. Pejuang dan pahlawan kecil ini menguatkan iman dan tekadnya sehingga ia layak disebut pejuang cilik.
Ali sejak kecil sudah dididik dengan adab dan budi pekerti islam. Lidahnya amat fasih berbicara, dan dalam hal ini terkenal ulung. Pengetahuannya tentang islam amat luas. Dan mungkin, karena rapatnya dengan Rasulullah SAW, beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadist Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan hampir diseluruh peperangan-peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali tetap ada didalamnya, bergulat atau perang tanding, dengan tak takut mati. Sering Ali dapat merebut kemenangan bagi kaum Muslimin dengan mata pedangnya yang tajam.
Ali bin Abi Thalib mengikuti semua peperangan disisi Rasulullah SAW, kecuali perang Tabuk. Sebelum berangkat ke medan perang, Rasulullah memercayakan semua urusan Madinah kepada Muhammad ibnu Maslamah r.a. Dan memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menjaga keluarganya.
Setelah Rasulullah wafat, Ali bin Abi Thalib dihormati dan diagungkan oleh ketiga Khalifah Rasyidin. Dan ketika kekhalifahan beralih ketangan Ali, ia menerimanya dengan berat hati dan sikap yang enggan. Ali menjalankan roda pemerintahan dan politik seperti yang dijalankan oleh Umar r.a. Ia juga menyerupai Umar dari sisi kezuhudan, keadilan,ketakutan, kewarakan, dan ketegasan hukumnya.
B. Tipe Kepemimpinan KhalifahAli bin Abi Thalib
Setelah peristiwa pembunuhan Utsman ibnu Affan, kota Madinah dilanda ketegangan dan kericuhan. Walikota Madinah, Al-Ghafiqi ibnu Harb, mencari-cari orang yang pantas untuk dibaiat sebagai khalifah. Para penduduk Mesir meminta Ali untuk memangku kekhalifahan namun ia enggan dan menghindar. Para penduduk Kuffah mencari-cari Zubair ibnu Al-Awwam, namun mereka tak menemukannya. Penduduk Bhasrah meminta Thalhah untuk menjadi khalifah namun ia tidak memenuhi permintaan mereka. Akhirnya, mereka berkata, “kita tidak akan menyerahkan kekhalifahan kepada ketiga orang ini.” Setelah itu mereka mendatangi Sa’ad ibnu Abi Waqos dan berkata, “Kau termasuk diantara Dewan Syura,” namun ia menolak. Lalu ia mendatangi Ibnu Umar, yang juga menolaknya.
Akhirnya mereka menetapkan bahwa yang bertanggung jawab adalah penduduk Madinah sehingga mereka berkata kepada penduduk Madinah, “ kalianlah yang bertanggung jawab. Kami akan memberi kalian waktu selama dua hari. Jika selama itu kalian tidak menghasilkan keputusan, demi Allah, kami akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan banyak orang lainnya.”
Maka orang-orang mendatangi Ali dan berkata, “Kami membaiatmu, karena kau telah menyaksikan rahmat yang diturunkan oleh Allah bersama islam dan karena saat ini kita menghadapi ujian yang sangat berat berupa konflik antara berbagai kota.” Ali menjawab, “Tinggalkanlah aku, dan carilah orang lain yang lebih baik dariku, karena aku akan menghadapi suatu masalah yang sangat rumit dan pelik, masalah yang tidak akan mampu dihadapi oleh hati dan pikiran siapapun. Namun, mereka bersikukuh membaiat Ali bin Abi Tholib. Tindakan mereka itu didukung oleh kaum Muhajirin dan Anshar, serta kelompok-kelompok lainnya. Termasuk diantara yang membaiat Ali ialah Thalhah, Zubair, Abdullah bin Umar, dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ali dibaiat sebagai khalifah setelah terbunuhnya Utsman di Madinah pada hari Jum’at 5 Dzulhijjah 35 Hijriah. Semua sahabat membaiatnya sebagai khalifah, disebutkan bahwa Thalhah dan Zubair membaiatnya dengan sangat terpaksa dan bukan dengan suka rela.
Sebagian orang termasuk putranya sendiri, Al-Hasan mengkritik Ali bin Abi Tholib karena mau menerima baiat dan diangkat sebagai khalifah. Mereka beranggapan bahwa semestinya di tengah situasi yang penuh fitnah ini Ali menolak dibaiat sebagai khalifah. Ali sendiri telah menyadari konsekuensi yang mesti ia tanggung ketika ia bersedia dibaiat dan diangkat sebagai khalifah umat islam. Ia merasa harus maju dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan umat islam dari kehancuran yang lebih besar.
Khalifah Ali bin Abi Thalib terkenal berani dan tegas dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah SWT, dan menindak segala macam kezaliman dan kejahatan. Sehingga sesudah ia dibai’ah menjadi khalifah, dikeluarkannya dua ketetapan:
1. Memecat kepala-kepala daerah yang diangkat Khalifah Utsman dan mengangkat pengganti pilihannya sendiri
2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan khalifah Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapapun yang tiada beralasan diambil Ali kembali.
Khalifah Ali bin Abi Thalib juga seorang yang memiliki kecakapan dalam ilmu pengetahuan, bidang militer dan strategi perang.
C. Situasi Dan Sistem Politik Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sudah diketahui bahwa Ali bin Abi Tholib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam membela yang hak. Setelah dibaiat sebagai khalifah, dia cepat mengambil tindakan. Dia segera mengeluarkan perintah yang menunujukkan ketegasan sikapnya.
Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita-cita Abu Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Utsman kepada kerabat dekatnya menjadi milik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat.
Selama pemerintahannya ia menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada masa sedikit pun dalam masa pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah memangku jabatan khalifah, Ali mengubah apa yang telah ditetapkan oleh utsman. Dua buah ketetapan diantaranya:
1. Memecat kepala-kepala daerah yang diangkat Utsman. Dikirim kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu terpaksa kembali saja ke Madinah, karena tidak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya.
2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapapun yang tiada beralasan diambil Ali kembali.
Banyak pendukung-pendukung dan kaum kerabat Ali yang menasihatinya supaya menangguhkan tindakan-tindakan radikal seperti itu, sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-pertama Ali mendapat tantangan dari keluarga bani Umayyah. Mereka membulatkan tenaga dan bangkitlah Muawiyyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali.
Kemudian oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alasan pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh uang sesungguhnya. Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai. Oleh karena itu kontak senjata tidak dapat dielakkan lagi. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan kembali ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama “Perang Jamal”(Perang Unta), yang terjadi pada tahun 36 H, karena dalam pertempuran tersebut Aisyah istri Nabi mengendarai unta. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 20.000 kaum muslimin gugur.
Perang unta menjadi sangat penting dalam catatan sejarah islam, karena peristiwa itu memperlihatkan suasana yang baru dalam islam, yaitu untuk pertama kalinya seorang khalifah turun ke medan perang untuk memimpin langsung angkatan perang, dan justru bertikai melawan saudara sesama islam.
Segera setelah menyelesaikan gerakan Thalhah dan kawan-kawan, pusat kekuasaan islam dipindahkan ke kota Kuffah. Sejak itu berakhirlah Madinah sebagai ibukota kedaulatan islam dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana. Sekarang Ali adalah pemimipin dari seluruh wilayah islam, kecuali Suriah.
Maka dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyyah, yang secara terbuka menentang Ali, dan penolakannya atas perintah meletakkan jabatan gubernur, memaksa khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslim terjadi lagi, yaitu antara Ali dan Muawiyah di kota Shiffin dekat sungai Eufrat, pada tahun 37 H. Khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah. Sebanarnya pihak Muawiyah telah terdesak kalah, dengan 70.000 pasukannya terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat Al Qur’an sebagai tanda damai dengan cara tahkim. Dari pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan Muawiyah diwakili oleh ‘Amr bin Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah dan Muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah melainkan mengangkat sebagi khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu Musa. Peperangan Shiffin yang diakhiri melalui tahkim(arbitrase), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang dengan penengah sebagai pengadil. Namun ternyata tidak menyelesaikan masalah, kecuali menyebabkan lahirnya golongan khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.
Ada Banyak Peperangan Yang Terjadi Di Masa Ali, Di Antaranya:
1. Perang Jamal / Perang Unta
Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat gubernur yang diangkat oleh Utsman. Ali yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali sistem distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab. Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali, kemudian pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan. Diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan keluarga Utsman sendiri dengan alasan:
- Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman
- Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru.
Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin yang berada di Madinah saja. Namun, karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat. Suasana politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan tidak mengakui Ali menjabat sebagai khalifah keempat. Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan serius yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur, dan menguatkan kembali posisinya sebagai khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi. Setelah itu baru melakukan pengusutan atas pembunuhan Utsman. Namun, sejak tahun 35 H/656 M, tahun pengangkatan Ali sebagai khalifah sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap yang pasti untuk menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Utsman. Sehingga Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar, Aisyah dan pasukannya memutuskan menyerang pasukan Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang selanjutnya dikenal dengan “Perang Jamal”. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Pertempuran inilah yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul Mu’minin.
Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal yang merupakan perang pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.
2. Perang Shiffin
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dariGubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggiyang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, GubernurDamaskus dan keluarga dekat Utsman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Alimengadili pembunuh Utsman. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalampembunuhan Utsman. Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali.Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantungjubah Utsman yang berlumuran darah bersama potongan jari janda almarhum dimimbarmasjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Denganadanya peristiwa tersebut, pihak umum berpendapat bahwa Ali yang bertanggungjawab atas pembunuhan Utsman.Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju keSyiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arussungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Mu’awiyah tidakmengijinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Ali mengirim utusanpada Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyahmenolak. Akhirnya Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasaipihak Ali, mereka ini tetap mengijinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.
Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanandidataran Shiffin, dan Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan caradamai. Ali mengirim utusan dibawah pimpinan panglima Basyir bin Amru untukmelangsungkan perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 Mmereka mencapai persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara danmasing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali karena akan mengurangi semangattempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun sebagaikhalifah, Ali terikat oleh ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat an-nisa’ ayat59. Dengan mengenali prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat dipahami mengapakhalifah Ali menempuh jalan damai dahulu.Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak untuk mengangkat bai’at Ali dansebaliknya menuntut Ali mengangkat bai’at terhadap dirinya. Maka bulan Saffar 37H/685M terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan 85.000 orangdari pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk Islamdi kota Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitklansemangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korbanpada pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas pemegang panji-panjiperang pihak Mu’awiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh pada pihak lawanmaka akan melumpuhkan semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak Mu’awiyah,Amru bin Ash memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berserumarilah kita bertahkim kepada kitabullah. Namun pada saat itu Alimemerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu muslihat musuh.Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka telahmeminta bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya, bahkandiantara panglima pasukannya Mus’ar bin Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali, mariberserah kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap andaseperti apa yang kami perbuat pada Usman.”Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi orang-orang sendiri.Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000 orang dari pihak Ali dan45.000 orang dari pihak Mu’awiyah.Peperangan ini diakhiri dengan takhkim (arbitrase).Akan tetapi hal itu tidak dapatmenyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tigagolongan. Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikutMu’awiyah dan Khawarij (orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya, diujungmasa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.
3. Perang Nahrawan
Setelah terjadi tahkimsebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Ali yangmenerima arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenaldengan nama Khawarij. Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:
- Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karenatelah mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang Shiffin, maka mereka wajib dibasmi.
- Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah raguterhadap kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuhuntuk membelanya. Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.
- Dan yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ahdan membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim.
- Pemuka kelompok ini adalah Abdullah bin Wahhab al Rasibi. SebenarnyaAlitidak ingin memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalambersikap diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah bin Wahhab dengansadis sekali hanya karena menolak untuk menyatakan keempat khalifah sepeningggalNabi adalah kufur, selain itu mereka juga membunuh utusan yang diutus oleh Ali.
- Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatutempat bernama Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah).
Sebelum perang diumumkan, Ali masih punya harapan untuk menyadarkankaum Khawarij. Dan Ali memberikan amnesti bersyarat yang berbunyi: “Barang siapapulang kembali ke Kufah, akan memperoleh jaminan keamanan.”Sejarah mencatat setelahitu 500 orang diantara mereka ber-iktijalsebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagipindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800 orang.Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali karenakeberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenanganberada dipihak Ali dan tokoh/pemuka Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah bin Wahhabtewas dalam peperangan ini.Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib) yangbermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga memberikan kesempatanpada pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampumerebut Mesir. Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah,sementara kekuatan Mua’wiyah bertambah besar, keberhasilan Mu’awiyah mengambilposisi Mesir berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihakAli.
D. Kontribusi Dalam Peradaban Islam Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabattinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskusdengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah diShiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang inidiakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islamterpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah binSaba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orangyang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnyakelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisiMu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Ra terbunuh olehsalah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Tholib bin Abdil Mutholib, putra dari paman Rasulullah dan suami dari beliau Fatimah. Fatimah adalah satu-satunya putri Rasul yang mempunyai keturunan.
Sepanjang hayatnya, Ali bin Abi Thalib tidak pernah sujud dihadapan berhala. Sujud pertamanya dan sujud selamanya hanya untuk Allah SWT. Karena itulah ia dijuluki “karramallahuwajhah- Allah memuliakan wajahnya”. Ia telah masuk islam di usia yang sangat dini, sepuluh tahun. Dialah anak-anak pertama dalam islam. Bahkan sebagian mengatakan bahwa dialah muslim pertama setelah Rasulullah SAW.
Ketika nabi menerima wahyu yang pertama, menurut Hasan Ibrahim Hasan Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ia menemani nabi dalam perjuangan menegakkan islam, baik di Makkah maupun di Madinah, dan ia diambil menantu oleh Nabi SAW dengan menikahkannya dengan Fatimah, salah seorang putri Rasulullah SAW.
Setelah keislamannya, ia mencari ilmu pengetahuan dan akhlak yang mulia dari Baginda Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil ia dididik di Madrasah Nubuwah di bawah bimbingan pengajar dan pembimbing paling agung Rasulullah Muhammad SAW.
Ujian pertama yang dihadapi oleh Ali bin Abi Tholib di jalan islam adalah di malam hijrah ketika ia diminta untuk menggantikan Rasulullah SAW. Ia harus tidur diatas pembaringan Rasulullah SAW dan mangenakan jubah beliau. Pejuang dan pahlawan kecil ini menguatkan iman dan tekadnya sehingga ia layak disebut pejuang cilik.
Ali sejak kecil sudah dididik dengan adab dan budi pekerti islam. Lidahnya amat fasih berbicara, dan dalam hal ini terkenal ulung. Pengetahuannya tentang islam amat luas. Dan mungkin, karena rapatnya dengan Rasulullah SAW, beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadist Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan hampir diseluruh peperangan-peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali tetap ada didalamnya, bergulat atau perang tanding, dengan tak takut mati. Sering Ali dapat merebut kemenangan bagi kaum Muslimin dengan mata pedangnya yang tajam.
Ali bin Abi Thalib mengikuti semua peperangan disisi Rasulullah SAW, kecuali perang Tabuk. Sebelum berangkat ke medan perang, Rasulullah memercayakan semua urusan Madinah kepada Muhammad ibnu Maslamah r.a. Dan memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menjaga keluarganya.
Setelah Rasulullah wafat, Ali bin Abi Thalib dihormati dan diagungkan oleh ketiga Khalifah Rasyidin. Dan ketika kekhalifahan beralih ketangan Ali, ia menerimanya dengan berat hati dan sikap yang enggan. Ali menjalankan roda pemerintahan dan politik seperti yang dijalankan oleh Umar r.a. Ia juga menyerupai Umar dari sisi kezuhudan, keadilan,ketakutan, kewarakan, dan ketegasan hukumnya.
B. Tipe Kepemimpinan KhalifahAli bin Abi Thalib
Setelah peristiwa pembunuhan Utsman ibnu Affan, kota Madinah dilanda ketegangan dan kericuhan. Walikota Madinah, Al-Ghafiqi ibnu Harb, mencari-cari orang yang pantas untuk dibaiat sebagai khalifah. Para penduduk Mesir meminta Ali untuk memangku kekhalifahan namun ia enggan dan menghindar. Para penduduk Kuffah mencari-cari Zubair ibnu Al-Awwam, namun mereka tak menemukannya. Penduduk Bhasrah meminta Thalhah untuk menjadi khalifah namun ia tidak memenuhi permintaan mereka. Akhirnya, mereka berkata, “kita tidak akan menyerahkan kekhalifahan kepada ketiga orang ini.” Setelah itu mereka mendatangi Sa’ad ibnu Abi Waqos dan berkata, “Kau termasuk diantara Dewan Syura,” namun ia menolak. Lalu ia mendatangi Ibnu Umar, yang juga menolaknya.
Akhirnya mereka menetapkan bahwa yang bertanggung jawab adalah penduduk Madinah sehingga mereka berkata kepada penduduk Madinah, “ kalianlah yang bertanggung jawab. Kami akan memberi kalian waktu selama dua hari. Jika selama itu kalian tidak menghasilkan keputusan, demi Allah, kami akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan banyak orang lainnya.”
Maka orang-orang mendatangi Ali dan berkata, “Kami membaiatmu, karena kau telah menyaksikan rahmat yang diturunkan oleh Allah bersama islam dan karena saat ini kita menghadapi ujian yang sangat berat berupa konflik antara berbagai kota.” Ali menjawab, “Tinggalkanlah aku, dan carilah orang lain yang lebih baik dariku, karena aku akan menghadapi suatu masalah yang sangat rumit dan pelik, masalah yang tidak akan mampu dihadapi oleh hati dan pikiran siapapun. Namun, mereka bersikukuh membaiat Ali bin Abi Tholib. Tindakan mereka itu didukung oleh kaum Muhajirin dan Anshar, serta kelompok-kelompok lainnya. Termasuk diantara yang membaiat Ali ialah Thalhah, Zubair, Abdullah bin Umar, dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ali dibaiat sebagai khalifah setelah terbunuhnya Utsman di Madinah pada hari Jum’at 5 Dzulhijjah 35 Hijriah. Semua sahabat membaiatnya sebagai khalifah, disebutkan bahwa Thalhah dan Zubair membaiatnya dengan sangat terpaksa dan bukan dengan suka rela.
Sebagian orang termasuk putranya sendiri, Al-Hasan mengkritik Ali bin Abi Tholib karena mau menerima baiat dan diangkat sebagai khalifah. Mereka beranggapan bahwa semestinya di tengah situasi yang penuh fitnah ini Ali menolak dibaiat sebagai khalifah. Ali sendiri telah menyadari konsekuensi yang mesti ia tanggung ketika ia bersedia dibaiat dan diangkat sebagai khalifah umat islam. Ia merasa harus maju dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan umat islam dari kehancuran yang lebih besar.
Khalifah Ali bin Abi Thalib terkenal berani dan tegas dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah SWT, dan menindak segala macam kezaliman dan kejahatan. Sehingga sesudah ia dibai’ah menjadi khalifah, dikeluarkannya dua ketetapan:
1. Memecat kepala-kepala daerah yang diangkat Khalifah Utsman dan mengangkat pengganti pilihannya sendiri
2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan khalifah Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapapun yang tiada beralasan diambil Ali kembali.
Khalifah Ali bin Abi Thalib juga seorang yang memiliki kecakapan dalam ilmu pengetahuan, bidang militer dan strategi perang.
C. Situasi Dan Sistem Politik Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sudah diketahui bahwa Ali bin Abi Tholib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam membela yang hak. Setelah dibaiat sebagai khalifah, dia cepat mengambil tindakan. Dia segera mengeluarkan perintah yang menunujukkan ketegasan sikapnya.
Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita-cita Abu Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Utsman kepada kerabat dekatnya menjadi milik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat.
Selama pemerintahannya ia menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada masa sedikit pun dalam masa pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah memangku jabatan khalifah, Ali mengubah apa yang telah ditetapkan oleh utsman. Dua buah ketetapan diantaranya:
1. Memecat kepala-kepala daerah yang diangkat Utsman. Dikirim kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu terpaksa kembali saja ke Madinah, karena tidak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya.
2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapapun yang tiada beralasan diambil Ali kembali.
Banyak pendukung-pendukung dan kaum kerabat Ali yang menasihatinya supaya menangguhkan tindakan-tindakan radikal seperti itu, sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-pertama Ali mendapat tantangan dari keluarga bani Umayyah. Mereka membulatkan tenaga dan bangkitlah Muawiyyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali.
Kemudian oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alasan pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh uang sesungguhnya. Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai. Oleh karena itu kontak senjata tidak dapat dielakkan lagi. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan kembali ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama “Perang Jamal”(Perang Unta), yang terjadi pada tahun 36 H, karena dalam pertempuran tersebut Aisyah istri Nabi mengendarai unta. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 20.000 kaum muslimin gugur.
Perang unta menjadi sangat penting dalam catatan sejarah islam, karena peristiwa itu memperlihatkan suasana yang baru dalam islam, yaitu untuk pertama kalinya seorang khalifah turun ke medan perang untuk memimpin langsung angkatan perang, dan justru bertikai melawan saudara sesama islam.
Segera setelah menyelesaikan gerakan Thalhah dan kawan-kawan, pusat kekuasaan islam dipindahkan ke kota Kuffah. Sejak itu berakhirlah Madinah sebagai ibukota kedaulatan islam dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana. Sekarang Ali adalah pemimipin dari seluruh wilayah islam, kecuali Suriah.
Maka dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyyah, yang secara terbuka menentang Ali, dan penolakannya atas perintah meletakkan jabatan gubernur, memaksa khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslim terjadi lagi, yaitu antara Ali dan Muawiyah di kota Shiffin dekat sungai Eufrat, pada tahun 37 H. Khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah. Sebanarnya pihak Muawiyah telah terdesak kalah, dengan 70.000 pasukannya terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat Al Qur’an sebagai tanda damai dengan cara tahkim. Dari pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan Muawiyah diwakili oleh ‘Amr bin Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah dan Muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah melainkan mengangkat sebagi khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu Musa. Peperangan Shiffin yang diakhiri melalui tahkim(arbitrase), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang dengan penengah sebagai pengadil. Namun ternyata tidak menyelesaikan masalah, kecuali menyebabkan lahirnya golongan khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.
Ada Banyak Peperangan Yang Terjadi Di Masa Ali, Di Antaranya:
1. Perang Jamal / Perang Unta
Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat gubernur yang diangkat oleh Utsman. Ali yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali sistem distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab. Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali, kemudian pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan. Diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan keluarga Utsman sendiri dengan alasan:
- Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman
- Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru.
Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin yang berada di Madinah saja. Namun, karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat. Suasana politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan tidak mengakui Ali menjabat sebagai khalifah keempat. Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan serius yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur, dan menguatkan kembali posisinya sebagai khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi. Setelah itu baru melakukan pengusutan atas pembunuhan Utsman. Namun, sejak tahun 35 H/656 M, tahun pengangkatan Ali sebagai khalifah sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap yang pasti untuk menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Utsman. Sehingga Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar, Aisyah dan pasukannya memutuskan menyerang pasukan Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang selanjutnya dikenal dengan “Perang Jamal”. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Pertempuran inilah yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul Mu’minin.
Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal yang merupakan perang pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.
2. Perang Shiffin
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dariGubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggiyang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, GubernurDamaskus dan keluarga dekat Utsman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Alimengadili pembunuh Utsman. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalampembunuhan Utsman. Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali.Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantungjubah Utsman yang berlumuran darah bersama potongan jari janda almarhum dimimbarmasjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Denganadanya peristiwa tersebut, pihak umum berpendapat bahwa Ali yang bertanggungjawab atas pembunuhan Utsman.Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju keSyiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arussungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Mu’awiyah tidakmengijinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Ali mengirim utusanpada Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyahmenolak. Akhirnya Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasaipihak Ali, mereka ini tetap mengijinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.
Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanandidataran Shiffin, dan Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan caradamai. Ali mengirim utusan dibawah pimpinan panglima Basyir bin Amru untukmelangsungkan perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 Mmereka mencapai persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara danmasing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali karena akan mengurangi semangattempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun sebagaikhalifah, Ali terikat oleh ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat an-nisa’ ayat59. Dengan mengenali prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat dipahami mengapakhalifah Ali menempuh jalan damai dahulu.Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak untuk mengangkat bai’at Ali dansebaliknya menuntut Ali mengangkat bai’at terhadap dirinya. Maka bulan Saffar 37H/685M terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan 85.000 orangdari pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk Islamdi kota Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitklansemangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korbanpada pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas pemegang panji-panjiperang pihak Mu’awiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh pada pihak lawanmaka akan melumpuhkan semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak Mu’awiyah,Amru bin Ash memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berserumarilah kita bertahkim kepada kitabullah. Namun pada saat itu Alimemerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu muslihat musuh.Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka telahmeminta bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya, bahkandiantara panglima pasukannya Mus’ar bin Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali, mariberserah kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap andaseperti apa yang kami perbuat pada Usman.”Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi orang-orang sendiri.Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000 orang dari pihak Ali dan45.000 orang dari pihak Mu’awiyah.Peperangan ini diakhiri dengan takhkim (arbitrase).Akan tetapi hal itu tidak dapatmenyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tigagolongan. Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikutMu’awiyah dan Khawarij (orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya, diujungmasa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.
3. Perang Nahrawan
Setelah terjadi tahkimsebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Ali yangmenerima arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenaldengan nama Khawarij. Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:
- Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karenatelah mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang Shiffin, maka mereka wajib dibasmi.
- Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah raguterhadap kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuhuntuk membelanya. Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.
- Dan yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ahdan membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim.
- Pemuka kelompok ini adalah Abdullah bin Wahhab al Rasibi. SebenarnyaAlitidak ingin memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalambersikap diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah bin Wahhab dengansadis sekali hanya karena menolak untuk menyatakan keempat khalifah sepeningggalNabi adalah kufur, selain itu mereka juga membunuh utusan yang diutus oleh Ali.
- Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatutempat bernama Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah).
Sebelum perang diumumkan, Ali masih punya harapan untuk menyadarkankaum Khawarij. Dan Ali memberikan amnesti bersyarat yang berbunyi: “Barang siapapulang kembali ke Kufah, akan memperoleh jaminan keamanan.”Sejarah mencatat setelahitu 500 orang diantara mereka ber-iktijalsebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagipindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800 orang.Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali karenakeberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenanganberada dipihak Ali dan tokoh/pemuka Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah bin Wahhabtewas dalam peperangan ini.Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib) yangbermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga memberikan kesempatanpada pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampumerebut Mesir. Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah,sementara kekuatan Mua’wiyah bertambah besar, keberhasilan Mu’awiyah mengambilposisi Mesir berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihakAli.
D. Kontribusi Dalam Peradaban Islam Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabattinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskusdengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah diShiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang inidiakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islamterpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah binSaba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orangyang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnyakelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisiMu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Ra terbunuh olehsalah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam